Jumat, 05 Juli 2013 0 komentar

Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Ranah 3 Warna karya A. Fuadi

menyempatkan diri untuk baca-baca novel rupanya cukup sulit ketika liburan. sudah lebih dari sebulan aku libur semester dan alhasil, pipiku mulai tembem lagi. biasanya, jam delapan malam aku sudah tertidur dengan masih memegang novel. di pagi hari ketika aku bangun, bukuku sudah terlipat-lipat karena tertindih ketika tidur. setelah beberapa minggu, baru novel ini selesai kubaca, dengan semangat baru tentunya, karena banyak sekali pencerahan yang kudapat dari sini.

 novel ini adalah seri kedua dari trilogi karangan A. Fuadi yang berjudul Negeri 5 Menara. ceritanya tentang Alif yang akhirnya lulus dari pondok madani, kemudian mendapati dirinya yang tidak bisa melanjutkan kuliah di ITB, sebab mata pelajaran yang ia dapatkan di pondok madani lebih memrioritaskan bidang sosial, seperti bahasa inggris, bahasa arab, berpidato dan sejarah-sejarah islam. alif berpikir untuk realistis, tidak mungkin dia dapat memahami pelajaran sains dari kelas satu hingga kelas tiga hanya dalam kurun waktu dua bulan. akhirnya ia memutuskan untuk mengambil jurusan hubungan internasional di Unpad.
setelah usaha mati-matian, mempelajari banyak mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial dari kelas satu hingga kelas 3 selama 2 bulan, akhirnya ia menghadapi UMPTN. awalnya ia ragu, namun bagaimanapun ia harus menghadapinya.
sebulan telah berlalu, hari diumukannya hasil UMPTN telah tiba. rupanya, usaha mati-matian itu tidak sia-sia, ia diterima di Hubungan Internasional: UNPAD.

hari-hari selanjutnya ia lalui di rantau, Bandung. berbagai rintangan baru ia hadapi, mulai dari ayahnya yang sakit hingga meninggal dunia, beban ekonomi yang menuntutnya untuk bekerja keras untuk bertahan hidup di rantau, sakit keras, hingga IP yang turun drastis. namun, akhirnya alif dapat melalui badai rintangan ini, hingga akhirnya ia mengikuti student exchange, dan mendapati dirinya telah berada di Kanada, Amerika: benua impiannya. petualangan baru pun ia lalui di benua ini.

permasalahan dengan Randai, sahabat karibnya juga menjadi bumbu di novel ini, mulai dari urusan tetek bengek seperti pinjam-meminjam komputer hingga persaingan memperebutkan Raisa, gadis pujaan mereka.

novel ini menegaskan bahwa menghadapi badai kehidupan tidak cukup hanya berpegang pada mantra "man jadda wajada", melainkan kita juga membutuhkan mantra selanjutnya, "man shabara zhafira."

di akhir cerita, A. Fuadi menuliskan inti dari cerita panjang alif di novel ini:

"man jadda wajada saja tidak cukup, sebab jarak antara usaha yang sungguh-sungguh dengan hasil yang memuaskan itu tidak bersebelahan. jarak antara usaha dan hasil ini hanya bisa diisi dengan sabar. sabar bukan berarti diam saja, sabar di sini adalah aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar dengan tetap menyerahkan segalanya pada Allah. rupanya, kesabaran di sini menimbulkan keajaiban yang luar biasa. kejaiban dan keberuntungan. padahal, keberuntungan ini diperoleh dari dari hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih. man shabara zhafira. siapa yang sabar akan beruntung." 


ada beberapa hal yang membuatku penasaran dari novel ini, pertama, karena aku suka sekali makan, hahha, aku penasaran sekali dengan masakan-masakan mado, orang tua angkat alif di Kanada. soupe aux pois yang berwarna kuning, dibuat dari kacang ercis. salmon bakar dan baked bean. pouding chomeur, dan baaaanyak lagi. hmmmm, membayangkannya saja aku sudah ngiler sendiri, hehehe.

berikutnya, setelah beberapa tahun, alif kembali lagi ke Kanada dengan istrinya. ini di yang membuatku penasaran. gimana ceritanya dia ketemu istrinya ini? sepertinya ini akan terjawab di novel ketiganya: Rantau 1 Muara.

satu hal lagi yang membuatku penasaran. yup. daun maple. pada musim gugur, Pak Fuadi menggambarkan daun ini berwarna merah kecoklatan. warna yang indah menurutku. warna yang romantis. ups. aku benar-benar penasaran hingga berharap kelak aku bisa menyentuhnya secara langsung *semogaaaa*. sebenarnya pembatas buku novel ini juga berbentuk daun maple, tapi rasanya tidak puas kalau tidak bisa menyentuh daun aslinya, tidak bisa merasakan tekstur kasar dari daun itu. jadi pembatas buku itu tidak bisa memuaskan rasa penasaranku.dari mbah google, aku juga mendapatkan beberapa gambar daun maple:







banyak sekali pelajaran kehidupan yang kudapatkan dari novel ini. bisa dikatakan novel ini yang menyadarkanku yang akhir-akhir ini lalai akan kenikmatan Allah. hmmmm. tak sabar rasanya menunggu seri ketiganya: Rantau 1 Muara. berharap temanku segera membelinya dan aku bisa pinjam, hehehe.




 
;